Ø Subjective
territoriality, yang menekankan bahwa keberlakuan
hukum ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak
pidananya dilakukan di negara lain.
Ø
Objective territoriality,
yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dimana akibat utama
perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara
yang bersangkutan.
Ø
Nationality
yang menentukan bahwa negara mempunyai jurisdiksi untuk menentukan hukum
berdasarkan kewarganegaraan pelaku.
Ø
Passive nationality
yang menekankan jurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban.
Ø
Protective principle
yang menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara untuk
melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya,
yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau pemerintah,
Ø Universality.
Asas ini selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum
kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai “universal
interest jurisdiction”. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa setiap negara
berhak untuk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian
diperluas sehingga mencakup pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), misalnya penyiksaan,
genosida, pembajakan udara dan lain-lain. Meskipun di masa mendatang asas
jurisdiksi universal ini mungkin dikembangkan untuk internet piracy, seperti computer,
cracking, carding, hacking and viruses, namun perlu dipertimbangkan bahwa
penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk kejahatan sangat serius
berdasarkan perkembangan dalam hukum internasional. Oleh karena itu, untuk ruang cyber
dibutuhkan suatu hukum baru yang menggunakan pendekatan yang berbeda dengan
hukum yang dibuat berdasarkan batas-batas wilayah. Ruang cyber dapat
diibaratkan sebagai suatu tempat yang hanya dibatasi oleh screens and
passwords. Secara radikal, ruang cyber telah mengubah hubungan antara legally
significant (online) phenomena and physical location.
0 komentar:
Posting Komentar